Lahir dan besar di Gunungkidul, Sugeng Handoko pemuda asli Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul mampu merubah wajah tanah kelahirannya yang dahulu terkenal dengan daerah kering, kini berubah 180 derajat menjadi desa ekowisata yang banyak dikunjungi wisatawan.
Dirinya mengungkapkan, ada 3 tahapan besar yang dilakukannya dalam menjalankan dan mengembangkan pariwisata di Desa Nglanggeran.
“Yang pertama itu adalah tahapan mengenali potensi, tahapan kedua mengolah SDM, kami butuh waktu 3 sampai 4 tahun untuk menyiapkan masyarakat untuk bergerak. Tahapan ketiga, melakukan kolaborasi dan kerja sama dengan pihak luar termasuk membangun identitas digital”, ujarnya.
Dirinya meyakini, jalan keluar Desa Nglanggeran dari jerat kemiskinan adalah melalui kewirausahaan sosial dengan mengembangkan ekowisata. Menurutnya, selain dapat memberikan keuntungan finansial, dengan menerapkan kewirausahaan sosial juga mampu merasakan kepuasan batin di masyarakat.
“Jadi, saya meyakini bahwa ketika kita membuat sistem, dan sistem itu terus dilakukan sampai meninggal pun itu tetap jadi amal kita”, katanya.
Sugeng menceritakan, dahulu ada beberapa permasalahan yang menjadikan Gunungkidul menjadi daerah tertinggal. Salah satunya adalah masyarakat yang sering menebangi pohon dan mengambil batu untuk dijual. Hal tersebut diakuinya berdampak langsung pada kerusakan alam lingkungan di wilayahnya.
“Yang kedua, tingginya urbanisasi di desa kami sangat tinggi, anak-anak muda meninggalkan desanya, tidak bangga terhadap daerahnya. Dan yang ketiga adalah keinginan kami untuk menjaga tapi memberikan dampak ekonomi”, ujarnya.
Itulah beberapa alasan yang mampu meyakinkan dirinya mengapa ekowisata dengan 3 unsur utama seperti edukasi, konservasi dan pemberdayaan masyarakat dapat menjawab permasalahan di desanya. Sementara untuk kelembagaanya, Sugeng bersama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) memberikan edukasi kepada masyarakat dan wisatawan.
Dijelaskan Sugeng, dahulu banyak wisatawan yang datang ke Gunungkidul sekedar tracking, naik gunung, foto lalu pulang. Ia melihat hal tersebut sebagai peluang bisnis, oleh sebab itu dirinya mulai serius menekuni mulai dengan memfasilitasi kegiatan makrab mahasiswa sekitar 50 sampai 80 orang.
“Selama dua hari satu malam melibatkan ibu-ibu siapkan makan malamnya, dan ternyata hasilnya berkali-kali lipat”, ujarnya.
Dirinya mengakui, sejak itulah Ia semakin serius mengoptimalkan sektor pariwisata yang lebih mengutamakan kenyamanan bagi wisatawan saat melakukan aktivitas di desanya.
“Jadi awalnya itu bukan pengembangan pariwisata, intinya orang datang kesitu dia bisa melakukan aktivitas. Kami yang bantu menyiapkan dengan banyak masyarakat dilibatkan”, ujarnya.
Terkait dengan kebutuhan modal untuk pengembangan wisata di wilayahnya, dirinya bersyukur gotong royong warga di desa masih sangat tinggi. “Jadi tidak semua itu dinominalkan dengan rupiah. Jadi ada kerja bakti, jalur tracking itu bersama-sama awalnya babat alas itu bersama-sama”, katanya.
Sementara itu, cara lain yang dilakukannya adalah dengan aktif di tiga hal, seperti lingkungan, kepemudaan dan pariwisata berbasis masyarakat.
“Kami mencoba untuk terjun di kompetisi. Jadi salah satu cara kami mengakses dana yaitu dengan mengikuti kompetisi. Itu disitu ketika menang dapat promosi gratis kemudian dapat uang pembinaan untuk pengembangan” jelasnya.
Adapun kompetisi yang diikutinya seperti Karang Taruna berprestasi, pemuda pelopor dari Kemenpora, dan dari BUMN ada wirausaha mandiri yang berhasil raih Rp300 juta yang digunakan untuk modal.
“Setelah berkompetisi saya coba berjejaring disana. Nah, kemudian juri menjadi mentor kami”, katanya.
Membatasi wisatawan berkunjung
Sugeng berpendapat untuk menjalankan konsep pariwisata yang berkelanjutan, kuncinya adalah semua elemen di desa harus bahagia seperti masyarakat, tuan rumah, lingkungan dan budaya. Menurutnya jika ada salah satu dari empat elemen tersebut tidak bahagia maka tidak bisa berkelanjutan.
“Kami pernah mengalami titik tertinggi wisatawan di 2014, itu satu tahun 325.000 ribu wisatawan dengan omset yang kami kelola mencapai 1,4 Miliar. Tapi masalahnya juga sangat besar, sampah, vandalisme, lingkungan, berisik, masyarakat kami tidak nyaman”, katanya yang sejak saat itu mulai membatasi jumlah wisatawan dari 2015 sampai saat ini.
Jumlah wisatawan yang turun sejak 2014 dikatakan Sugeng tidak memengaruhi pendapatan ekonomi yang justru malah bertambah.
“Hanya 135.000 pengunjung, tapi omset yang kami kelola bisa 2,5 Miliar”, ujarnya.
Menurutnya, pariwisata keberlanjutan bukanlah berpatokan pada sebuah target kunjungan wisatawannya, melainkan kualitas dari wisatawan yang datang termasuk aktivitas yang dilakukannya.
Dirinya juga menyampaikan, saat ini sudah ada satu desa yang dirangkul untuk diajak berkegiatan dari yang awalnya hanya 3 dusun.
“Caranya yang pertama harganya kita naikkan, jadi tiket masuk, kalau dulu yang datang generasi anak-anak alay yang beli tiket cuman foto-foto nulis namanya di gunung buang sampah sembarangan. Nah itu sekarang sudah tersegemen, minimal seleksi itu sudah ada, jadi orang yang datang ke Nglanggeran itu sudah punya keinginan yang kuat mendapat sesuatu yang berbeda tidak hanya foto-foto”, jelasnya.
Cara lain yang dilakukannya adalah dengan promosi yang sudah tersegmen.
“Saat ini kami sudah membidik sekolah-sekolah yang mempunyai kegiatan live-in, perusahaan yang mempunyai kegiatan gathering, kemudian lebih ke edukasi”, katanya.
Selain itu, dikatakan juga saat ini sudah banyak kunjungan studi banding ke desa Nglanggeran dan minat membeli produk masyarakat juga besar.
“Ketiga, kami mencoba membuat ikatan balik lagi ke Nglanggerang. Jadi orang yang berwisata itu tidak hanya sekali tapi akan kembali lagi karena ada ikatan yang kami bikin. Jadi kami berprinsip, pariwisata untuk persaudaraan, pariwisata untuk pembelajaran. Jadi masyarakat akan nyaman tidak penuh dengan banyak orang, tapi punya kualitas” terang Sugeng.
Terkait dengan desa wisata yang tengah dicanangkan oleh pemerintah dirinya menilai hal tersebut merupakan program yang baik, namun juga harus dilihat dari seluruh aspek yang ada di desa tersebut.
“Jadi terkadang terjadi salah kaprah memindahkan pariwisata ke desa yang itu menjadi masalah menurut saya. Karena desa itu sebuah ekosistem, disitu ada masyarakat, disitu ada daya dukung, di situ ada lingkungan, kearifan lokal, kebudayaan akan menjadi salah pendekatan ketika orientasinya adalah memindahkan pariwisata ke desa” jelasnya.
Sugeng beranggapan selama ini pariwisata di Desa Nglanggeran hanya sekedar tambahan, masyarakat tetap menjadi petani, peternak, peladang, karena dirinya tidak ingin kehilangan desa kami gara-gara pariwisata.
“Sebuah desa yang menggantungkan ekonominya dari pariwisata akan mudah sekali goyah, katakan isu pariwisata turun akan terdampak. Tapi kami pariwisata hanya tambahan saja, walaupun tambahan kadang lebih besar. Jadi masyarakat (tim) kami ada 140 orang dalam seminggu dan hanya 4 hari berkegiatan di pariwisata”, pungkasnya.
Sumber : dilansir dari Trubus.id