Mempersiapkan generasi emas Indonesia di tahun 2045 bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, stunting masih menjadi masalah gizi utama bayi dan anak dibawah usia dua tahun di Indonesia. Sementara itu, tantangan lebih berat harus dilalui disaat pandemi Covid-19 yang berpotensi mengakibatkan naiknya angka kemiskinan sehingga berdampak pada kebutuhan gizi anak.
Kondisi tersebut harus segera diselesaikan karena dapat menghambat tercapainya tujuan SDGs Nasional dan momentum generasi emas Indonesia di tahun 2045. Pentingnya pertumbuhan anak untuk masa depan bangsa membuat Presiden Joko Widodo menargetkan angka stunting turun menjadi 14 persen di tahun 2024.
“BKKBN akan menjadi ketua pelaksanaan dalam penanganan penurunan angka stunting. Yang dulu, lima tahun yang lalu berada di angka 37 persen sudah turun menjadi 27,6 (persen) di 2019. Target kita 2024 itu 14 persen, bukan angka yang mudah. Tetapi saya meyakini kalau lapangannya dikelola dengan manajemen yang baik, angka ini bukan angka yang sulit, 14 persen itu.”, ujar Presiden Joko Widodo saat Rapat Koordinasi Nasional Kemitraan Program Bangga Kencana Tahun 2021 di Istana Negara, Kamis, 28 Januari 2021.
Lalu Makripuddin, Plt Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN dalam acara Bincang-Bincang Wisma Hijau (BBWH) menyampaikan, sebagai badan yang ditunjuk Presiden, BKKBN akan melakukan pendekatan program pada 1000 hari pertama kehidupan pada anak. Namun ditengah wabah pandemi Covid-19 saat ini angka stunting diperkirakan bertambah seiring dengan peningkatan jumlah angka kemiskinan di tanah air.
“Angka kemiskinan dari tahun 2016 dari 10,86% menurun menjadi 9,41% di tahun 2019. Namun meningkat menjadi 9,78% di bulan Maret 2020. Bukan hanya presentasenya yang meningkat tapi jumlahnya juga meningkat dari 25 juta menjadi 26 juta”, ujarnya dalam seminar yang dilakukan secara daring, Jumat (23/7).
Bahkan, prediksi para ahli disampaikan bahwa angka stunting di tahun 2021 menjadi 32.5%. Oleh sebab itu, BKKBN akan melakukan intervensi pencegahan stunting dengan perubahan mendasar pendataan stunting dari keluarga berisiko, pendampingan calon keluarga sejak pra nikah, dan pendampingan secara paripurna terhadap keluarga dengan ibu hamil atau punya anak bawah usia dua tahun.
“Pendampingan secara paripurna tidak hanya dilakukan dari sisi medis tapi juga pendampingan dari faktor sensitif dan spesifik”, ujarnya.
Untuk itu, selama masa pra nikah, tepatnya tiga bulan sebelum nikah, BKKBN akan memantau kesehatan para calon pengantin. Dari pemantauan tersebut dapat diketahui jika belum memenuhi syarat kesehatan yang cukup, maka dianjurkan untuk meningkatkan kesehatannya terlebih dahulu.
Menurutnya, banyak perempuan Indonesia saat hamil dalam kondisi yang belum siap sehingga berpotensi melahirkan anak stunting. Untuk itu, BKKBN meluncurkan program siap nikah dan kedepannya para calon pasangan usia subur atau calon pengantin harus mendaftarkan hari pernikahannya tiga bulan sebelumnya.
“Artinya dari sisi anemia dia tidak anemia lagi, sehat dan siap. Karena selama ini 37% remaja puteri kita anemia. Sejak sebelum menikah, kita sudah skrining, kemudian ketika menikah dia hamil tentu kemudian kita harapkan ANCnya dimonitor, dan setelah melahirkan kita harapkan langsung mengikuti program KB”, terangnya.
Sri Kusyuniati, Country Director Indonesia of Nutrition International pada kesempatan tersebut juga berpendapat bahwa persoalan yang paling krusial di dalam anemia adalah otak, dimana koginisnya menjadi sangat rendah.
“Struktur otak terlihat sangat jarang, sementara yang gizi cukup, padat otaknya. Ini artinya jika 1000 HPK tidak dikejar sehingga bersifat permanen dan tak terpulihkan, maka mutu koginisinya rendah, tidak cerdas, sehingga menjadi beban negara”, katanya.
Selain itu, diyakini ada beberapa faktor anemia tidak langsung yang terjadi pada remaja terkait presepsi body image yang kurus tinggi langsing merupakan bentuk sempurna. Hal tersebutlah yang berdampak pada remaja takut gemuk hingga membatasi makanan yang justru bergizi untuk tubuh.
“Disisi lain makanan yang tersedia saat ini tidak bergizi, seperti cirenglah, macam-macam itu tidak bergizi sama sekali”, ujarnya.
Disampaikan Lalu Makripuddin, dalam rangka menurunkan angka stunting, BKKBN menyasar pada remaja dan ibu menyusui. Sementara itu, intervensi gizi spesifik penekanan dilakukan pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK) yang pada umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan.
Dari intervensi gizi sensitif, penekanan ditujukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan dengan sasaran masyarakat umum. Tidak lupa Ia juga mengajak semua mitra untuk kerja sama dalam rangka mengurangi angka stunting.
“Kita semua berharap semua terlibat dan memerlukan banyak mitra. Kami berupaya ada 1000 mitra mungkin 1000 hari pertama kehidupan. Jadi penekanan untuk pencegahan stunting akan sangat fokus pada 1000 hari pertama kehidupan dan memerlukan banyak mitra”, ujarnya.
“Di tingkat desa kita melatih 600, 1000 kader pendamping keluarga yang akan mendampingi keluarga sejak dari calon pengantin sampai hamil, melahirkan, hingga balita usia dua tahun”, lanjutnya.
Gempur Stunting
Melky Koli Baran, Direktur Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) Flores Timur pada kesempatan yang sama juga menyampaikan bahwa angka stunting dapat turun jika dimulai dari desa karena anak stunting ada di desa-desa.
Menurutnya, penanganan stunting khususnya di Flores Timur harus dilakukan dari hulu hingga hilir. Pengetahuan mengenai stunting harus mempunyai pemahaman yang sama dari pemerintah setempat hingga masyarakat.
Penelitian tentang stunting yang dilakukan Melky Koli di Flores Timur akhirnya berbuah manis. Dirinya mampu meyakinkan Bupati bahwa stunting harus diakhiri di wilayahnya dan masuk ke dalam program Kabupaten.
“Akhirnya perlahan pemerintah setuju, hingga kami sampai pada satu tahapan akhir sepakat membuat deklarasi Kabupaten yang mengatakan bahwa stunting mesti gempur ramai-ramai dari semua pihak”, ujarnya.
Forum deklarasi yang dihadiri 600 orang dan didahului kuliah umum tentang pangan dan gizi pada 16 November 2018 tersebut menjadi pemahaman bersama bahwa stunting harus digempur di Flores TImur. Sejak dilakukan gempur stunting, mulai tahun 2019 Pemda giat melakukan penyuluhan kampanye stunting dari desa ke desa yang dilakukan oleh berbagai pihak.
“Kita ke desa, semua elemen dihadirkan, ibu hamil, ibu muda, posyandu, dasa wisma, pemerintah desa, semua bersama melakukan kampanye 1000 hari kehidupan. Juga aksi bersama membangun kebun desa”, ujarnya.
Melky Koli mengungkapkan, tantangan terbesar yang menjadi refleksi selama kampanye adalah pola hidup, diikuti dengan pengetahuan dan pemahaman edukasi tentang gizi.
“Tantangan lain yaitu, di Flores Timur daerah kering sehingga omong soal pangan tantangan kami di gagal panen karena kekeringan. Yang kami lakukan sekarang adalah kami memfasilitasi masyarakat belajar dari situasi ini dan adaptasi seperti sorgum yang salah satu jenis tanaman yang adaptasi sangat bagus dengan hujan yang kurang atau air yang terbatas”, ujarnya.
Posyandu harus tetap buka
Di lain kesempatan, dalam program kegiatan penggerakan masyarakat di Posyandu oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang bekerjasama dengan Bina Swadaya Konsultan juga mendukung dibukanya kembali Posyandu dengan penerapan protokol kesehatan (prokes) yang ketat.
Operasionalisasi dibukanya kembali Posyandu Sari Kemuning 1 dan Sari Mawar 3 di Kabupaten Bekasi dengan mengacu Panduan Operasional Upaya Kesehatan di Pos Pelayanan Terpadu dalam Adaptasi Kebiasaan Baru menunjukkan jika protokol tersebut aman dan dapat diimplementasikan.
Rizkiyana Sukandhi Putra, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan pada saat pembukaan Posyandu menegaskan apapun zonanya Posyandu harus berjalan. Menurutnya jika Posyandu tidak berjalan, maka dapat menunda pemantauan kesehatan bayi atau balita di 1000 hari pertama.