Yayasan Bina Swadaya bersama Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM) meluncurkan “Peta Jalan dan Strategi Aksi Pemulihan Dampak Pandemi Covid-19 yang Berkeadilan dan Berkelanjutan pada Kelompok Masyarakat Adat” sebagai acuan aksi pemulihan dampak pandemi COVID-19 pada masyarakat adat dalam 10 tahun ke depan.
Tercatat, sebanyak 70 juta penduduk Indonesia merupakan bagian dari komunitas adat. Mereka memiliki kontribusi nilai ekonomi sebesar Rp159,93 miliar per tahun. Menurut United Nations Development Programme (UNDP), masyarakat adat tiga kali lipat lebih berisiko terjerumus dalam kondisi kemiskinan di tengah pandemi COVID-19. Itulah mengapa perlunya penyusunan peta jalan pemulihan dampak pandemi bagi masyarakat adat karena belum adanya pemetaan yang komprehensif dan menyeluruh.
“Yayasan Bina Swadaya berkontribusi dan berperan serta menyusun peta jalan dan strategi aksi pemulihan dampak pandemi COVID-19 dengan memberikan beberapa perhatian khusus untuk membantu masyarakat adat bisa berdaya dan mandiri di tengah pandemi COVID-19,” kata Ketua Pengurus Yayasan Bina Swadaya Bayu Krisnamurthi, dalam Bincang-Bincang Wisma Hijau, Jumat (17/12).
Pada kesempatan yang sama Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, mengatakan, pemulihan ekonomi pascapandemi memerlukan strategi yang berkelanjutan dan inklusif.
“Kami menyambut baik kerja sama untuk mengangkat kembali kekayaan pengetahuan lokal tentang lingkungan, seperti yang dilakukan oleh Yayasan Bina Swadaya dan PSPK UGM melalui pembuatan Peta Jalan dan Strategi Aksi ini. Inisiatif seperti ini dapat mendorong tercapainya target pembangunan yang berkelanjutan (SDGs),” tutur Hilmar.
Ketua Tim Penyusunan Peta Jalan Pemulihan Ekonomi yang Berkeadilan dan Berkelanjutan Yayasan Bina Swadaya, Poppy Ismalina, menjelaskan, masyarakat adat merupakan salah satu dari enam kelompok rentan yang perlu diperhatikan dalam proses pemulihan pascapandemi.
Pihaknya mengidentifikasi pemangku kepentingan terkait sebelum membuat peta. Peta jalan ini didasari dengan lima prinsip dasar yang meliputi prinsip kesetaraan, partisipasi, akses informasi dan membangun kepercayaan publik, akuntabilitas dan transparansi, serta keberlanjutan.
“Yang terpenting adalah bagaimana peta jalan dan strategi akses ini membuka akses informasi dan membangun kepercayaan publik terhadap apa yang kita akan lakukan untuk pemulihan pascapandemi,” ujar Poppy.
Berdasarkan temuan lapangan dari tim penyusun, disimpulkan, meski memiliki kerentanan, masyarakat adat memiliki daya adaptasi dan resiliensi yang tinggi. Memang, mereka kelihatannya tidak membutuhkan bantuan dari pihak lain, tapi kemudian diidentifikasi tentu saja perlu ada dukungan yang utuh untuk kehidupan yang jauh lebih baik bagi semua kelompok rentan, termasuk masyarakat adat.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Ketua Tim Peneliti Peta Jalan untuk Kelompok Masyarakat Adat, Bambang Hudayana, menerangkan, studi untuk memahami kerentanan dan resiliensi masyarakat adat melibatkan setidaknya empat kelompok masyarakat adat, yakni Senama Nenek, Urug, Ciptagelar, dan Samin (Sedulur Sikep).
“Banyak hal yang berkontribusi terhadap kerentanan masyarakat adat, termasuk meluasnya ekspansi pasar, rusaknya ekosistem karena land grabbing, dan marjinalisasi budaya,” jelas Bambang.
Pihaknya menambahkan, masyarakat adat mampu membangun resiliensi, terlebih jika mendapatkan dukungan untuk mengembangkan pengetahuan budaya sebagai bagian dari kekuatan mereka.
“Budaya menjadi kekuatan masyarakat adat dalam beradaptasi dengan lingkungan, namun dalam sebagian besar kasus di lapangan, budaya ini semakin lama semakin terpinggirkan, padahal ini merupakan aset menuju kemandirian. Kekuatan yang penting menuju kemandirian berawal dari dalam masyarakat itu sendiri, termasuk kearifan lokal, budaya, sumber daya alam, dan modal sosial yang bisa semakin kuat melalui inklusi sosial dan emansipasi,” tambahnya.
Dalam lima tahun pertama, program memfokuskan pada pemulihan ekonomi dengan cara meningkatkan dukungan kebijakan pemerintah untuk memproteksi hak- hak masyarakat adat atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam di lingkungannya. Sementara itu, dalam lima tahun kedua, program memfokuskan pada peningkatan ketahanan ekonomi seiring dengan meluasnya globalisasi dan ekonomi disrupsi sehingga ekonomi masyarakat adat bisa bertahan, bahkan mampu memanfaatkannya untuk meningkatkan ketangguhannya.
Hal senada diungkapkan oleh Yuli Prasetyo Nugroho, Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal, Direktorat Pengaduan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebutkan, pentingnya peran lembaga adat dalam implementasi peta jalan menuju pemulihan pascapandemi.
“Sejauh ini kami mengidentifikasi ada 83.000 desa adat, 36.000 desa di antaranya memiliki lembaga adat yang bisa dilibatkan dalam proses pembangunan resiliensi yang disebutkan oleh Pak Bambang,” tutur Prasetyo.
Lebih lanjut, Prasetyo menekankan perlunya perlindungan terhadap kearifan lokal.
“Banyak terjadi pembajakan terhadap kearifan lokal yang tidak dilindungi. Contohnya, ada masyarakat adat yang menjadi satu-satunya pengelola atau produsen hasil alam tertentu, tetapi harga yang tidak menentu dan tidak dilindungi kemudian menjadikan mereka rentan. Ini menjadi bukti pentingnya perlindungan dalam bentuk hukum dan kebijakan,” ujar Prasetyo menambahkan.
Deputi III Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Urusan Ekonomi, Annas Radin Syarif, yang turut hadir dalam acara, menanggapi, peta jalan gagasan PSPK UGM dan Yayasan Bina Swadaya sebagai masukan berharga dalam kerja AMAN, komunitas akar rumput, dan pemangku kepentingan lainnya.
“Kami berterima kasih atas dibuatnya Peta Jalan ini karena dapat menjadi masukan dalam kerja kami untuk meningkatkan resiliensi masyarakat adat, terutama langkah-langkah yang mendukung keamanan tenurial,” ujarnya.
Annas juga memberi masukan agar implementasi Peta Jalan dan Strategi Aksi disesuaikan dengan kondisi masyarakat adat di lapangan.
“Semoga forum diseminasi peta jalan ini bisa menjadi awal yang baik bagi para ahli serta pemerhati masyarakat adat sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk mewujudkan peta jalan yang lebih baik dan sesuai dengan kondisi di lapangan,” tutup Annas.