Jasa layanan iklim pada petani saat ini dibutuhkan secara mendesak untuk meningkatkan kemampuan dalam mengantisipasi kondisi iklim yang semakin sulit diduga. Perubahan Iklim dan pergantian cuaca ekstrem yang saat ini sedang terjadi mengakibatkan meningkatnya jumlah kelaparan hingga berdampak pada sulitnya warga dalam mengakses sumber makanan yang memadai.
Data terbaru dari PBB bahkan menyebutkan bahwa angka kelaparan meningkat hingga 11% setelah tidak mengalami kenaikan selama 15 tahun.
World Food Programme (WFP) memperingatkan, bahwa perubahan iklim yang terjadi di bumi akan berdampak buruk pada sektor pertanian. Pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian sendiri bersifat multidimensional, mulai dari sumberdaya, infrastruktur pertanian, dan sistem produksi pertanian, hingga aspek ketahanan dan kemandirian pangan, serta kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya.
Melalui webinar philantrophy sharing session dengan tema Adaptasi Petani Menghadapi Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh Belantara Foundation bekerjasama dengan Filantropi Indonesia, diupayakan dapat mengambil pembelajaran dari praktek lapangan yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga yang terjun langsung membantu petani dalam mengantisipasi kondisi alam yang sulit diduga.
Salah satunya adalah “Warung Ilmiah Lapangan” dari Universitas Indonesia yang merupakan arena belajar agrometeorologi bagi petani yang didasarkan pada pendekatan lintas disiplin antara ilmu agrometeorologi dan ilmu antropologi, serta transdisiplin antara ilmuwan dan petani, petugas pertanian, serta para pihak terkait.
Prof. Yunita T. Winarto, Ph.D, koordinator Tim Warung Ilmiah Lapangan, Universitas Indonesia yang juga sebagai anggota Pembina Yayasan Bina Swadaya menyampaikan bahwa yang menjadi benih adaptasi petani adalah kemahiran untuk melakukan antisipasi.
“Jadi bagaimana petani itu bisa mahir mengantisipasi membayangkan apa yang terjadi di masa depan, tapi juga menginterprestasi kondisi sekarang ini dan juga tetap belajar dari pengalaman masa lalu. Dan ini semua merupakan kemampuan dasar tentang mengambil keputusan strategi tanggap pada konsekuensi perubahan iklim yang semakin tidak terduga”, ujarnya.
Dalam paparannya, dirinya mengungkapkan bahwa paradigma pertanian dalam 50 tahun terakhir adalah revolusi hijau yang berorientasi pada hasil produksi tinggi dan ditopang dengan paket teknologi berupa benih unggul, irigasi skala besar, pupuk kimia, pestisida kimia dan teknologi pertanian lainnya. Menurutnya, hal tersebut memposisikan petani sebagai pencapai target produksi layaknya mesin produksi.
“Apa akibatnya jika menggunakan teknologi seperti tadi kalau menggunakan kimia berlebihan, buat tubuh dia, buat tanaman, buat tanah, buat air, seakan-akan mereka termajinalisasi tidak hanya secara ekologis tapi secara budaya di tanah mereka sendiri, pengetahuan mereka diperkaya atau tidak”, kata Prof Yunita.
Namun melalui pertanian tanggap perubahan iklim, Prof Yunita mengungkapkan bahwa orientasinya yaitu menjadikan petani mampu mengantisipasi, mengambil keputusan untuk tanggap konsekuensi perubahan iklim.
Adapun tujuannya yaitu mengurangi atau menghindari gagal panen petani, “kita perlu tidak hanya ketahanan pangan tetapi mempertangguh ekosistem dan produksi, ini yang perlu kita damping petani sehingga mereka bisa mengembangkan pola dan strategi tanam”, katanya.
“Ini perlu jasa layanan dan yang utama adalah layanan dalam hal edukasi dan literasi. Ini yang saya rasakan kurangnya edukasi dan literasi pada petani, kebanyakan teknologinya”, lanjutnya.
Arena belajar ini merupakan wujud dari komitmen edukasi berkelanjutan yang dibutuhkan oleh petani dalam upaya mereka untuk bisa bertahan hidup dalam kondisi iklim yang terus berubah dan semakin beragam, dengan risikonya yang tidak mudah diduga.
Strategi adaptasi yang amat tepat dan jitu diperlukan guna menghindari atau mengurangi risiko gagal panen. Untuk itu, pengayaan pengetahuan dan literasi atas kondisi iklim dan cuaca serta risikonya bagi lahan dan tanaman mereka, serta peningkatan kemampuan antisipasi menghadapi konsekuensi perubahan iklim itu amat diperlukan.
Sejak tahun 2008 silam, Warung Ilmiah Lapangan mulai dipraktekan di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, tahun 2009 di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, tahun 2014 di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, dan tahun 2018 di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Metode belajar secara berkesinambungan dengan petani sebagai peneliti dalam komunikasi secara dialogis dengan akademisi dan berbagai pihak merupakan pendekatan utama yang dilakukan oleh kedua belah pihak yakni antara ilmuwan dan petani.
Terdapat delapan jasa layanan iklim (eight climate services) yang diperkenalkan dan dikembangkan dalam arena belajar itu, yakni: 1) Panduan mengukur curah hujan setiap hari; 2) Panduan pengamatan agroekosistem harian; 3) analisis dan mengevaluasi hasil panen; 4) Pengorganisasian Warung Ilmiah Lapangan oleh Petani seara mandiri; 5) Perumusan dan penyebarluasan skenario iklim musiman; 6) layanan berbagi pengetahuan baru; 7) Panduan eksperimen “sama-sama menang” (win-win solution) di lahan petani; 8) Dokumentasi dan pengolahan data petani secara digital.
Belantara Foundation sebagai Koordinator klaster menambahkan bahwa, “Perubahan iklim, termasuk di dalamnya perubahan cuaca yang ekstrim akan sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan makhluk hidup di bumi termasuk manusia. Krisis pangan yang diakibatkan gagal panen berkepanjangan bisa terjadi karena cuaca yang tidak dapat lagi diprediksi. Hal ini merupakan salah satu ancaman nyata untuk kita. Oleh karena itu, sangat penting untuk kita semua memahami dampak dari krisis iklim dan mencegahnya dari saat ini sebelum terlambat” ujar Dr. Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Belantara Foundation.
Sejalan dengan gerakan mendukung petani dalam problematika perubahan iklim, Syamsul Ardiansyah, Senior Officer Aliansi Strategis Dompet Dhuafa juga mengatakan bahwa fokus utama adaptasi perubahan iklim bagi petani adalah peningkatan kapasitas yang merangkum seluruh praktik baik pertanian yang telah teruji masa lampau dengan inovasi-inovasi baru dalam rangka menghadapi ancaman akibat perubahan iklim.
Gerakan filantropi melakukan transformasi untuk tidak hanya fokus pada kegiatan-kegiatan charity, tetapi juga masuk pada kegiatan pemberdayaan dan advokasi kebijakan.
“Salah satunya bertujuan menjadi pembangkit kesejahteraan sektor pertanian (berdampak langsung ke petani) maupun dampak panjang terhadap kedaulatan pangan”, ujar Syamsul Ardiansyah.
Sementara itu, Wahana Visi Indonesia (WVI) juga banyak melakukan pendampingan dan membantu petani di berbagai lokasi di Indonesia untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Endang Christine Purba, Economic & Agriculture Development Specialist WVI, menuturkan upaya adaptasi petani melalui pengelolaan regenerasi alam. Salah satu dampingan petani di Sumba Timur mengatakan bahwa kini pohon tidak hanya sebagai sesuatu yang harus kita perhatikan, tetapi juga sebagai bentuk investasi. Menanam pohon dapat menjadi sumber investasi yang menjamin untuk anak-anaknya di masa depan.
Kegiatan ini merupakan kegiatan gabungan dari Klaster Filantropi Ketahanan Pangan dan Gizi dengan Klaster Filantropi Lingkungan Hidup dan Konservasi dalam mencegah kelaparan akibat krisis lingkungan bekerjasama dengan Belantara Foundation, Warung Ilmiah Lapangan, Universitas Indonesia, Wahana Visi Indonesia, Dompet Dhuafa, Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Sumedang.
“Dari sisi keterlibatan lembaga filantropi dalam perubahan iklim, hal ini sudah menjadi sasaran program sebagai kontribusi bersama pencapaian SDGs. Namun nyatanya, menyiapkan diri dalam pencegahan krisis pangan lebih diutamakan, sambil mencari langkah strategis lainnya menghindari ancaman bencana iklim lainnya”, tutur Rizal Algamar, Ketua Badan Pengurus Filantropi Indonesia.
Di sisi lain, menurut beliau, telah banyak lembaga filantropi yang menggagas regulasi dan policy, akses teknologi dan berbagai mekanisme pendanaan sebagai komitmen menghadapi ancaman perubahan iklim ini.