Sistem perkoperasian di Indonesia dikatakan masih jauh dari paradigma dan pengertian koperasi yang dicita- citakan sebenarnya, dimana rakyat selayaknya ditempatkan sebagai yang utama. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang dihadirkan oleh pemerintah diharapkan mampu mendorong perkembangan koperasi di Tanah Air.
Untuk mempertajam paradigma tersebut, keterlibatan segenap pihak diharapkan bisa memperkaya pengetahuan terhadap sistem perkoperasian di Indonesia bahwa koperasi bisa bergerak di semua sektor.
Dalam rangka perayaan Hari Koperasi Nasional 2021 pada hari Senin (12/7), Bincang-Bincang Wisma Hijau (BBWH) mengangkat tema “Koperasi untuk Indonesia” bersama narasumber Ketua Pembina Yayasan Bina Swadaya Bambang Ismawan dan Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, yang dimoderatori oleh Pengurus Koperasi Benih Tanah Air (Koperasi Kobeta), Dewi Hutabarat, Jumat (9/7).
Aliansi Koperasi Internasional (International Co-operative Alliance/ICA) melaporkan, koperasi di dunia memiliki lebih dari 1 miliar anggota yang kemudian menciptakan lebih dari 100 juta pekerjaan yang bergerak di semua sektor, mulai dari layanan kebutuhan sehari-hari hingga layanan publik.
“Selama ini koperasi dipandang oleh masyarakat sebagai layanan simpan-pinjam. Padahal, koperasi bisa bergerak di semua sektor termasuk untuk layanan kebutuhan sehari-hari sampai layanan publik seperti rumah sakit hingga kebutuhan listrik bisa dikembangkan dengan basis koperasi,” tutur Pengamat Koperasi yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, dalam diskusi yang dilakukan secara daring tersebut.
Suroto mengatakan, di Amerika Serikat sebagian besar warganya mengakses listrik berkat peranan koperasi melalui National Rural Electric Cooperative Association (NRECA). Ada pula Group Health Cooperative sebagai jaringan rumah sakit terbesar di Washington DC yang juga dikelola oleh koperasi. Sementara, di Indonesia, masyarakat masih melihat koperasi hanya sebagai koperasi simpan-pinjam.
Rilis ICA terbaru pada 2020 menyebutkan dari 300 koperasi besar dunia, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk cukup besar dengan ribuan koperasi, tidak berkontribusi dalam 300 daftar koperasi besar dunia. Sementara, negara kapitalis seperti Amerika Serikat, menyumbang 26 persen dari total jumlah 300 koperasi besar dunia.
“Koperasi bisa menjadi organisasi lincah karena kedudukannya sebagai badan hukum privat yang diakui negara, tidak berorientasi profit, tetapi menjadi benefit bagi anggotanya. Dengan demikian, koperasi bisa bergerak di seluruh sektor kehidupan,” ucapnya lugas.
Suroto menyebut bahwa kegagalan perkembangan koperasi menjadi fondasi perusahaan mencerminkan bahwa citra koperasi telah diposisikan sebagai pelaku usaha yang marginal. Koperasi telah tercitrakan sebagai pelaku ekonomi pinggiran hingga masyarakat sulit membedakan koperasi dan jenis badan usaha lainnya.
Masalah tersebut secara paradigmatik menyebabkan orientasi pemberdayaan koperasi, baik dari sisi regulasi maupun kebijakan menjadi kurang tepat. Paradigma masyarakat dalam melihat koperasi juga saatnya dirombak total. Ini persoalan citra koperasi yang harus diubah dari anggapan usaha yang lemah dan kecil menjadi usaha yang kompetitif dan berdaya saing.
“Kita harus membuat koperasi berkembang dan menjadi “Pahlawan Ekonomi” bagi masyarakat. Kita ubah paradigma yang selama ini tercipta bahwa rantai nilai ekonomi dikuasai oleh mafia kartel di sektor marketing, processing, insurance hingga financing, dimiliki oleh koperasi,” tegas Suroto.
Selain itu, Ia juga menilai bahwa masih banyak perundang- undangan di Indonesia yang diskriminasi terhadap koperasi sehingga menghambat perkembangan koperasi.
“Pada sistem peraturan perundang- undangan kita masih banyak yang berlaku diskriminatif terhadap koperasi sehingga menghambat perkembangan koperasi di Indonesia,” kata Suroto Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) ketika dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (6/7).
Ia mencontohkan aturan perundang- undangan yang diskriminatif terhadap koperasi seperti UU Rumah Sakit yang wajib berbadan hukum perseroan (PT). Bentuk diskriminasi lain terhadap koperasi diakui Suroto adalah investasi asing yang juga wajib berbadan hukum PT. Bahkan, kebijakan tersebut disebutkan di UU Penanaman Modal. UU yang seperti ini membuat koperasi sulit berkembang.
Seharusnya, koperasi dapat keluar dan menjadi lintas bisnis yang modern. Namun, yang selama ini terjadi adalah koperasi menjadi usaha yang terkesan hanya sebagai tempat pembinaan dan charity. Menurutnya, perlakuan diskriminatif terhadap koperasi harus diakhiri.
Selain itu, ketidakpahaman masyarakat akan sistem perkoperasian juga menyebabkan banyak orang terkecoh, bahkan tertipu oleh koperasi abal- abal. Seperti halnya investasi bodong mengatasnamakan koperasi.
Dikatakannya, negara-negara yang ekonomi domestiknya stabil terjadi karena koperasi memiliki kontribusi sebagai kelembagaan yang sudah mapan. Untuk mengikuti jejak negara-negara tersebut, Suroto menyampaikan harus ada Gugus Wilayah (Guswil) yang menangani koperasi secara serius.
Oleh sebab itu, menurutnya yang paling penting saat ini adalah masyarakat mencari sumber daya pengetahuan sendiri untuk merombak tata kelola koperasi yang ada di masyarakat, kemudian membangun spirit baru untuk mengembangkan koperasi sesuai dengan prinsip dan nilai-nilainya.
Lebih lanjut diakui Suroto, keberadaan koperasi masih memerlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mampu bertransformasi dan berkembang. Pasalnya hingga saat ini, kekuatan koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif kecil. Padahal, seharusnya koperasi diharapkan menjadi pilar atau “Soko Guru” perekonomian nasional dan juga lembaga gerakan ekonomi rakyat.
Hal senada diungkapkan oleh Bambang Ismawan, menurutnya, koperasi seharusnya bisa menjadi sistem ekonomi rakyat, dimana pelaksanaannya berdasarkan pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang diharapkan dapat ditegakkan di Indonesia sehingga didapat manfaat untuk bersama bukan hanya bagi salah satu pihak.
Dalam diskusi tersebut Bisma panggilan akrab Bambang Ismawan juga menekankan, bahwa Kelompok Swadaya masyarakat (KSM) bisa dikatakan koperasi berbasis komunitas. KSM, menurutnya merupakan sekumpulan orang yang menyatukan diri dalam usaha-usaha di bidang sosial yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup anggotanya serta masyarakat yang berada di sekitarnya.
“Perjuangan yang dilakukan Mas Suroto sama seperti yang kami lakukan di Bina Swadaya, yang juga memperjuangkan peraturan-peraturan terkait Perundang- Undangan Keuangan Mikro yang belum sepenuhnya dicita-citakan rakyat. Oleh karena itu, Bina Swadaya hadir untuk mendampingi masyarakat,” ungkapnya kembali.
Pria peraih Gold Winner dari Global Business and Interfaith Awards 2018 ini juga menjelaskan, pendampingan yang dimaksudkan sebagai upaya memberikan bantuan teknis kepada kelompok swadaya masyarakat (KSM) agar meningkatkan kemandirian bagi dirinya.
Pendampingan adalah mitra kelompok yang berfungsi sebagai motivator, fasilitator dan komunikator. Pendampingan juga harus mempunyai komitmen dan kemampuan tentang pengembangan swadaya masyarakat dan untuk itu mereka perlu dipersiapkan dengan pelatihan yang memadai.
“Bina Swadaya secara mandiri telah berhasil membentuk 3.000 KSM yang tersebar di 23 Kabupaten di Indonesia. Sementara dari hasil kerjasama multipihak, telah terbentuk lebih dari 1 juta KSM, dengan 25 juta anggota,” pungkasnya.
Sumber : Majalah Info Bina Swadaya Juli 2021