Desa-desa perlu direvitalisasi karena menjadi gudangnya kemiskinan dan keterbelakangan. Kenyataan ini terjadi karena proses sejarah yang panjang dan kompleks, akibat kebijakan-kebijakan yang tidak tepat dan tidak adil, sehingga terjadi akumulasi kemiskinan dan keterbelakangan, serta kesenjangan yang parah antara desa dan kota. Dalam menapaki peziarahan Bina Swadaya, sebab-sebab terjadinya kemiskinan, keterbelakangan dan kesenjangan itu dapat dipahami adanya sebab- sebab umum dan sebab-sebab khusus.
Sebab-sebab umum adalah berbagai kenyataan yang terjadi dan berpengaruh secara langsung pada seluruh bangsa Indonesia. Sedang sebab-sebab khusus adalah berbagai kenyataan yang berpengaruh utamanya bagi desa-desa. Sebab-sebab umum meliputi latar belakang sejarah penjajahan yang panjang, ketidakstabilan pemerintahan, devaluasi mata uang yang sangat besar, korupsi – kolusi – nepotisme (KKN) yang merajalela, bencana alam yang tak terantisipasi, kerusakan lingkungan yang tak terbendung dan pasal 33 UUD 1945 yang tidak dihayati dalam kebijakan ekonomi.
Sistem penjajahan yang bertujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya (Batigslot Politiek) dengan menguras sumber daya alam akibatkan kemiskinan dan keterbelakangan rakyat. Kerajaan-kerajaan Nusantara tidak berdaya menghadapi VOC, pedagang bersenjata dari Belanda yang menguasai laut nusantara; Cultuur Stelsel – tanam paksa (1830 – 1870), memperparah kemiskinan; Agrarische Wet (1870) menandai masuknya kapitalisme barat, sehingga terjadilah dualisme ekonomi antara ekonomi onderneming dan pertanian rakyat (Boeke).
Ketidakstabilan pemerintahan sejak awal kemerdekaan yang berlangsung secara trial and error: demokrasi liberal vs demokrasi terpimpin, sistem parlementer vs sistem liberal, demokrasi vs otoriteritarian, sentralisasi vs desentralisasi, tarik menarik berbagai kepentingan (ideologi, sektarian, kedaerahan). Proses tersebut terjadi karena kemerdekaan kita rebut bukan hadiah yang diberikan penjajah seperti Inggris terhadap Malaysia, Singapore dan India. Proses menjadi Indonesia itu menghabiskan energi, seolah tiada sisa energi untuk membangun sektor perekonomian rakyat.
Devaluasi mata uang yang teramat besar seperti terlihat dalam perhitungan berikut:
- pada tahun 1950 an terjadi kebijakan “Gunting Syafruddin”, mata uang Rp.1000,- dipotong menjadi Rp 500,- , susut 50%;
- pada tahun 1966 mata uang Rp.1.000,- dinilai Rp. 1,- , susut 100.000%.
- pada tahun 1969, US $ 1 bernilai antara Rp.84 – Rp.105 atau rata-rata Rp. 95,-.
- pada tahun 2011, US $ 1,- senilai Rp. 9.500, dan kalau dibandingkan nilai rupiah terhadap dolar AS tahun 1969 dengan 2011 mencapai perbedaan sebesar 10.000%.
Dihitung sejak 1950-an sampai 2011 rupiah kita telah terdevaluasi sebesar 50.000.000.000%. Pada saat ini (2020) US $1,- bernilai sekitar Rp.14.000,-, bisa dihitung-hitung lebih lanjut kemerosotan nilai mata uang kita.
KKN yang merajalela telah menggerogoti kekayaan negara yang adalah milik rakyat, membikin semakin parahnya kesenjangan kaya miskin, 1% orang menguasai 46% kekayaan, akibatkan menguatnya ketidakpercayaan kepada elit politik dan ekonomi. Sementara itu, bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, angin topan dan badai, serta letusan gunung berapi yang tak terantisipasi mengakibatkan mereka yang terimbas mendadak miskin kalau tertimpa musibah itu.
Pasal 33 UUD 1945 tidak dihayati dalam kebijakan ekonomi. Isi pasal 33 ayat 2: Cabang- cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara, ayat 3: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun dalam kebijakan ekonomi tidak ada ketentuan yang jelas tentang cabang- cabang produksi yang penting bagi negara. Serta tidak ada kebijakan ekonomi bagi upaya pemberantasan kemiskinan dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam.
Sebab-sebab khusus yang kami maknai sebagai proses marginalisasi desa, berlangsung antara lain melalui modal SDM. Melalui berbagai program pendidikan yang dimaksudkan untuk meningkatkan sdm agar siap untuk pembangunan, justru merugikan desa-desa karena terjadinya brain drain – “otak” keluar dari desa-desa. Sementara itu modal kelembagaan gotong royong yang menjadi kekuatan masyarakat desa ketika menanam, panen, membangun rumah, mengatasi masalah-masalah sosial dan lain, kini nyaris tidak terdengar.
Berlakunya ekonomi uang di desa-desa, memunculkan kebutuhan akan pelayanan keuangan untuk kembangkan usaha bagi warga desa yang bersifat agraris. Namun lembaga keuangan (Bank, dll) yang ditugasi oleh negara untuk melayani kebutuhan keuangan bagi masyarakat desa, ternyata tidak bisa dilakukan karena dinilai tidak bankable. Tetapi pelayanan bank berupa mobilisasi tabungan berhasil dilakukan dengan berbagai hadiah. Dana yang terkumpul tidak bisa disalurkan kembali sebagai kredit kepada masyarakat desa, melainkan diinvestasikan ke kota. Terjadilah capital flight yang jumlah mencapai 85% (penelitian Prof Mubyarto di Kabupaten Lamongan, 2004). Akibatnya para petani kecil dan pengusaha mikro tergantung modal usahanya pada rentenir, pengijon dan tengkulak berbunga tinggi yang menambah beban usaha mereka.
Usaha pertanian yang terpusat di desa-desa mengalami marginalisasi karena semakin sempitnya pemilikan lahan rerata usaha tani keluarga. Menurut kajian Kementerian Pertanian (2000), 88% keluarga tani memiliki lahan kurang dari 0.5 ha, saat ini mungkin sekitar 0,2 ha saja. Bertahan sebagai petani subsistance saja sulit, harus mencari nafkah di luar sektor pertanian. Hasil penelitian Prof. Ahmad Erani Yustika (2000, 80% penghasilan petani diperoleh di luar sektor pertanian. Kemiskinan para petani juga karena adanya rantai pasok yang tidak adil seperti tergambar dari ungkapan Menteri Pertanian Amran Sulaiman (2018): “1 kg bawang merah di tingkat petani Brebes seharga Rp. 15.000 per kg, sesampai di Cirebon meningkat menjadi Rp.50.000 per kg”.
Untuk mengatasi kemiskinan di perdesaan harus membendung membendung proses marginalisasi dengan berbagai upaya meningkatkan kapasitas SDM, mengembangkan kelembagaan solidaritas, mengembangkan sistem keuangan mandiri, mengembang- kan organisasi produksi dan pemasaran yang efektif, menerapkan teknologi tepat guna, serta mengembangkan lokal spesifik ke arah ekonomi kreatif. Semuanya dilaksanakan dalam gerakan bersama dengan bergotongroyong di antara warga masyarakat lokal dan berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai desa mandiri dan maju. Sebab, desa-desa adalah akar-akar dari pohon besar bernama NKRI.
Bambang Ismawan