Pandemi Covid-19 menjadi momentum bertransformasinya masyarakat menciptakan peluang baru mengakselerasi teknologi digital. Digitalisasi disebut-sebut sebagai kunci pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19. Namun, pemanfaatan inovasi berbasis digital untuk meningkatkan ekonomi digital bisa dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat yang dapat dilakukan di tengah pandemi Covid-19 salah satunya dengan memperkenalkan digital marketing bagi pelaku UMKM. Sebagaimana kita ketahui, digital marketing merupakan salah satu bentuk kegiatan promosi dan pencarian pasar secara online dengan memanfaatkan jejaring sosial dengan platform penjualan produk ataupun jasa online.
Meski berpotensi dapat meningkatkan perekonomian digital, sejumlah kendala seperti terbatasnya kemampuan teknologi dan akses internet, serta adanya anggapan bahwa mempromosikan produk ke digital marketing melalui media sosial dan marketplace sebagai suatu hal yang menyusahkan, membuat sebagian pelaku UMKM enggan memasarkan produknya melalui media sosial.
Menjawab tantangan tersebut, Founder Kolektive.id dan Konsultan Pemberdayaan Masyarakat, Yudi Utomo, mengungkapkan pascapandemi Covid-19 dunia digital semakin mengakselerasi. Ke depan, dunia digital akan semakin menjadi kebutuhan. Kini, perusahaan-perusahaan mulai bertransformasi ke digital.
“Digitalisasi menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus mulai memanfaatkan teknologi digital untuk mengembangkan bisnis,” tutur Yudi dalam Bincang-Bincang Wisma Hijau dengan tema “Digitalisasi untuk Pemberdayaan Masyarakat” yang dilaksanakan secara virtual, Selasa (29/03).
Menurutnya, di era digitalisasi saat ini, perempuan memiliki peranan penting untuk berdaya di sektor ekonomi secara digital. Pemberdayaan ekonomi perempuan adalah proses meningkatkan kekuatan perempuan atas keputusan-keputusan ekonomi yang dapat memengaruhi kehidupan mereka di masyarakat. Pemberdayaan ekonomi perempuan dapat dicapai melalui akses dan kontrol terhadap pendapatan dan aset.
“Tetapi yang terjadi saat ini, perempuan masih belum memiliki kontrol terhadap pendapatan/aset itu sendiri karena sebagian besar masih dikelola oleh laki-laki. Padahal, perempuan juga bisa memberikan kontribusi yang sama besarnya pada perekonomian seperti laki-laki,” ungkapnya menambahkan.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Livinode, Norman Andriono, menjelaskan, di era digitalisasi saat ini, dunia berubah dengan sangat cepat. Namun, pertanyaannya adalah apakah masyarakat siap beradaptasi terhadap kecepatan dunia digital?
“Jika kita lihat perkembangan transaksi perdagangan yang dulu bisa dilakukan secara tradisional dengan cukup membuka toko, dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat, kini mulai bergeser ke e-commerce, kemudian sekarang mulai berganti ke multichannel, bahkan saat ini ada yang namanya omnichannel platform. Untuk melakukan itu semua, memang membutuhkan effort yang besar,” jelas Norman yang juga menjabat sebagai Manager Wheaton Press Indonesia.
Lebih jauh Norman mengajak masyarakat untuk berani beradaptasi dengan kehadiran teknologi digital. Kehadiran teknologi digital memungkinkan seseorang menciptakan sebuah platform untuk memberdayakan masyarakat dalam skala yang lebih besar.
Berdasarkan data We Are Social Februari 2022, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia bertambah sebesar 12,6% dari tahun lalu atau sekitar 21 juta orang. Sementara itu, pengguna internet di dalam negeri bertambah 2,1 juta orang dalam kurun waktu 1 tahun atau naik 1,0%.
“Semakin meningkatnya rata-rata waktu harian yang dihabiskan orang-orang menggunakan media sosial dan bertambahnya user di berbagai platform media sosial, menandakan bahwa potensi digitalisasi sangat besar jika dilihat dari data jumlah pengguna aktif,” tuturnya.
Lebih lanjut, Norman menyebut, pada top pencarian teratas YouTube di Indonesia lebih banyak didominasi oleh konten-konten hiburan, seperti lagu, film, karaoke, hingga kartun anak.
“Syukurnya, saat ini konten-konten video di YouTube sudah mulai berkembang. Sebanyak 46,5% masyarakat menonton video tutorial, kemudian sebanyak 39,6% masyarakat menonton video edukasi.”
Artinya, lanjut Norman, tantangan ke depan kita adalah konten-konten edukasi yang bisa memberdayakan masyarakat harus semakin banyak. Konten-konten edukasi ini juga harus relevan dan dikemas secara menarik sesuai trennya. Selain itu, dituntut untuk cepat dan masif melakukannya. Menjaring kolaborasi menjadi komponen penting karena konten-konten edukasi tidak bisa berjalan sendiri.
“Kesalahan terbesar kita adalah ketika seseorang hanya menjadi kritikus, tetapi tidak berani melakukan aksi, menyampaikan pesan secara digital. Sehingga media digital diisi oleh konten-konten yang tidak mengedukasi. Tetap kita memiliki peluang besar untuk menyajikan masyarakat konten-konten edukasi yang bisa memberdayakan masyarakat,” tutupnya.