Perempuan dan anak termasuk kelompok rentan yang paling terdampak dalam pengungsian. Guna menghadapi tantangan perlindungan pengungsi terutama perempuan dan anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyerukan agar para pemangku kepentingan memberikan penanganan yang responsif gender serta berbasis hak anak. Di mulai dengan sensitif terhadap kebutuhan spesifik perempuan dan anak.
“Penanganan yang responsif gender harus dikedepankan sebab dalam pengungsian seringnya yang dilihat oleh para pemangku kepentingan dalam hal pemberian bantuan dan kebutuhan masih bersifat umum. Ketika ada kebutuhan spesifik yang diharapkan oleh perempuan dan anak terkadang tidak terpenuhi,” ujar Asisten Deputi Perlindungan Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kemen PPPA, Valentina Gintings dalam pertemuan virtual Peningkatan Kapasitas bagi Pemerintah dan Pengada Layanan tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Pengungsi di 9 Wilayah di Indonesia (21/06).
Valentina menjelaskan pengungsi terbagi atas dua jenis, pengungsi karena bencana yakni mereka yang terdampak akibat bencana dan pengungsi karena konflik misalnya konflik antar suku, agama, wilayah, internally displace person (IDP) atau pengungsi internal, dan pengungsi dari luar negeri.
Valentina menambahkan dalam situasi pengungsian (karena bencana/konflik) perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan terdampak bahkan memicu kerentanan ganda. Mereka rentan menjadi korban pelecehan seksual, mengalami kekerasan, eksploitasi, rentan adanya perkawinan usia anak dan pekerja anak, masalah kesehatan reproduksi, kehamilan yang tidak dinginkan, atau masalah gangguan psikologis lainnya karena kelamaan berada di pengungsian.
“Situasi (kerentanan) ini berisiko besar terjadi pada perempuan dan anak (dalam pengungsian),” tegas Valentina.
Bukan hanya membutuhkan aksesibilitas terhadap bantuan atau layanan pokok saja, Valentina menuturkan ada kebutuhan lain yang lebih spesifik diharapkan perempuan dan anak ketika berada dalam pengungsian. Ada 4 hal di antaranya keamanan, kebersihan, bantuan kebutuhan spesifik, dan akses layanan.
“Pertama keamanan, para pengungsi perempuan anak membutuhkan tempat pengungsian tertutup yang terpisah dengan pengungsi laki-laki dan dengan kamar mandi yang terpisah. Mereka cenderung merasa tidak aman, apalagi ketika menggunakan toilet di malam hari. Kedua, kebersihan terutama air bersih. Ketiga, bantuan kebutuhan spesifik terhadap perempuan dan anak, seperti hygiene kit (pembalut, popok, dsb). Keempat, akses layanan yakni pengungsi perempuan membutuhkan layanan ketika mereka mengalami kekerasan berbasis gender,” jelas Valentina.
Terkait akses layanan, Valentina menjelaskan Kemen PPPA dalam kondisi kebencanaan telah beberapa kali langsung menurunkan tim dan berkoordinasi dengan daerah untuk membuat Pos Ramah Perempuan dan Anak. Di pos ini perempuan dan anak bisa mendapat layanan yang dibutuhkan termasuk juga kebutuhan spesifik yang diharapkan oleh mereka.
“Ini adalah hal-hal yang kadang-kadang secara kasat mata tidak termasuk dalam bantuan-bantuan yang disiapkan oleh para pemangku kepentingan ketika mereka (perempuan dan anak) berada di pengungsian. Semua pihak terutama pemangku kepentingan harus bersama-sama dan bersinergi dalam menyediakan berbagai sarana dan prasarana untuk melindungi perempuan dan anak di pengungsian,” tutur Valentina.
Terkait upaya perlindungan perempuan dan anak di pengungsian khususnya pengungsi dari Luar Negeri, Pemerintah Indonesia dalam hal ini telah memiliki aturan hukum berupa Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Valentina menjelaskan dalam Pasal 27 Perpres tersebut menekankan pengungsi dengan berkebutuhan khusus yakni sakit, hamil, penyandang disabilitas, anak dan lansia perlu diberikan penanganan khusus sesuai kebutuhan.
Kemen PPPA juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan yakni Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak dalam Pasal 7 menyatakan perlindungan khusus anak juga dilakukan kepada anak dalam situasi darurat (bencana/konflik).
Di samping itu, Peraturan Menteri PPPA Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Situasi Bencana mengamanatkan Pembentukan Sub Kluster Pencegahan dan Penanganan KBG dan Pemberdayaan Perempuan.
Sumber: KemenPPPA