Tanah menjadi salah satu faktor penting bagi peningkatan hasil produksi tanaman. Namun tidak sedikit petani yang justru terlalu fokus pada perawatan tanaman sehingga abai dalam mengolah tanah.
Supriadi, Ketua Kelompok Tani Pemuda Sampoerna Desa Selangkau, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur mengakui bahwa dirinya juga sempat abai pada kondisi tanahnya hingga mempengaruhi hasil panen padinya.
“Saya dulu tanam padi tidak pernah perhatikan kondisi tanah saya, PHnya berapa saya nggak tau. Musim tanam ya tanam, meski hasilnya tidak memuaskan, bahkan kadang gagal panen”, kenangnya.
Wawasan Supriadi akhirnya berkembang sejak dirinya mengikuti sekolah lapang yang diselenggarakan oleh PT. Indexim Coalindo melalui program CSR dengan menggandeng Bina Swadaya Konsultan (BSK).
Melalui program Pemberdayaan Ekonomi Potensial (PPEP) sektor perikanan dan pertanian, pemahaman Supriadi tentang ilmu pertanian diakuinya mulai bertambah.
Menurutnya, pengolahan tanah menjadi dasar untuk menciptakan lahan yang subur bagi tanaman dan menjadi faktor penentu terhadap keberhasilan budidaya pertanian.
Baca Lainnya : BSK Dipercaya Lakukan Pendampingan Masyarakat Sektor Pertanian dan Perikanan di Kutai Timur
“Banyak petani yang tidak tahu, kalau menggunakan pupuk kimia itu lama-lama akan mempengaruhi kesuburan tanah. Sama seperti saya dulu, pupuk ya untuk tanaman, nggak ada pengaruhnya sama tanah”, ujarnya.
Lahan sawah milik Supriadi yang dijadikan sebagai demplot program pertanian organik berkelanjutan akhirnya membuka mata para petani.
Jika sebelumnya para petani menggunakan pupuk kimia dan tiap tahun kebutuhan pupuknya selalu meningkat, kini dengan pupuk organik Ia mampu menghemat pengeluaran dan berdampak pada hasil panen yang justru meningkat.
Sebelum mengikuti sekolah lapang, Supriadi mengakui dirinya mampu panen sebanyak 2 ton, dan biaya produksi pupuk kimia yang selalu bertambah tiap tahunnya. Kini dengan pendekatan sekolah lapang pertanian organik dalam 1 hektar dirinya mampu panen hingga 3 ton.
“Saya baru tau, ternyata banyak bahan alami disekitaran kita yang bisa dijadikan pupuk dan obat bagi tanaman. Dan ternyata musuh alami dari hama itu ada. Tapi dulu kita semprot semua itu pakai racun, karena menurut kita hama juga”, jelasnya.
Setelah menjalankan metode pertanian organik di lahannya, Supriadi merasakan perbedaannya. Dari segi biaya produksi, pupuk kimia yang biasa digunakan sudah diganti dengan pupuk kompos, Mol dan POC yang dibuat sendiri.
Begitu pun juga dengan obat-obatan hama dan penyakit, Supriadi membuat pestisida nabati dan jamur trechoderma seperti yang diajarkan di sekolah lapang.
Baca Lainnya : Sekolah Lapang Beri Segudang Ilmu Baru bagi Kelompok Tani
Dengan perubahan yang dirasakan secara langsung, dirinya semakin yakin dengan metode yang dipelajarinya di sekolah lapang. Melalui pengolahan tanah yang benar bisa membawa dampak positif pada hasil panen padinya.
Diakuinya, salah satu kendala yang dihadapinya saat ini adalah kebutuhan pupuk kompos untuk lahannya maupun petani lain. Namun, Supriadi yang juga mengelola stocking point Koperasi Produsen Bara Etam Sejahtera didampingi untuk melakukan kerjasama dengan koperasi guna membangun rumah kompos sebagai jalan keluar kebutuhan kompos para petani.
“Sekarang saja, samping sawah saya juga mulai tanya-tanya sama saya cara buat mol, POC, jamur. Kok bisa biaya murah, dan banyak lagi. Saya nggak perlu nyuruh orang-orang, saya akan buktikan sendiri, akan saya lakukan untuk membuktikan, karena saya yakin cara yang diajarkan ini banyak manfaatnya.” Jelas Supriadi.
Supriadi mengakui, wawasan tentang pertanian organik dan berkelanjutan dari sekolah lapang masih banyak yang bisa digali lagi. Untuk itu dirinya berharap CSR PT Indexim Coalindo bersama Bina Swadaya Konsultan sebagai pendamping di lapangan bisa memberikan program serupa lagi kepada para petani agar bisa berdampak kepada kesejahteraan para petani.